Perihal Vicky Prasetyo: Perabaan Awal Atas Bahasa
Politik ‘Awur-Awuran’
Anom Astika, kontributor IndoPROGRESS
DI usiaku saat ini… ya TWENTY NINE
MY AGE, aku masih merindukan APRESIASI karena basically aku suka musik walaupun
KONTROVERSI HATIk-ku lebih menunjukkan KONSPIRASI KEMAKMURAN yang kita pilih,
kita belajar pada HARMONISISASI pada hal yang terkecil sampai yang terbesar,
ngga boleh ego terhadap satu kepentingan & MENGKUDETA apa yang menjadi
keinginan. Ini bukan MEMPERTAKUT bukan MEMPERSURAM STATUTISASI kemakmuran
keluarga dia tetapi menjadi CONFIDENT. Kita harus bisa MENSIASATI KECERDASAN
itu untuk LABIL EKONOMI kita lebih baik; aku sangat bangga.’
Kutipan di muka adalah pernyataan
seseorang yang mengaku eksekutif sukses, namun sesungguhnya adalah penipu
ulung. Sejumlah artis dangdut, termasuk staf anggota DPR Ade Nurul, menjadi
sebagian dari korban-korbannya. Korban terakhir, sebelum Vicky Prasetyo dibekuk
oleh aparat kepolisian, adalah Zaskia Gotik yang sempat bertunangan dengan
pelaku. Saat konferensi pers setelah bertunangan, kata-kata di muka lah yang
diucapkan Vicky sebagaimana yang diunggah dalam klip youtube.1
Kegelian sontak tumbuh di kalangan
pengguna media sosial, saat saya mengunggah transkrip teks tersebut di akun facebook.
Ada yang mengatakan bahwa si Vicky ini kepalanya terbentur aspal sebelum
berkata-kata. Ada juga yang menyamakannya dengan pelawak macam Toni Blank yang
sempat populer beberapa tahun lalu. Banyak lagi cibiran, ejekan, atau apapun
bagi si Vicky. Lebih-lebih diketahui kemudian bahwa si Vicky ini juga penipu
ulung, yang pandai memainkan psikologi korban-korban perempuannya dengan
berbagai macam identitas. Ia bisa mengaku sebagai dokter ahli bedah plastik,
yang mengaku melakukan 30 operasi dalam sehari. Pun sebagai manajer keuangan ia
perankan melalui identitas yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Sehingga ia
bisa menampilkan diri sebagai dua atau tiga subyek yang berbeda, di hadapan
korbannya. Semua modus penipuannya, dilakukan melalui beberapa perangkat
‘telepon pintar’ Blackberry yang dimilikinya, demi ‘memeras’ uang
korban-korbannya. Seperti misalnya yang dikemukakan oleh Deasy Kitaro, salah
satu korbannya:2
‘Ngakunya anggota DPR, pengusaha dan
anak pejabat, itu semua bohong. Aku juga pernah ditelepon yang mengaku seorang
dokter bedah bernama dokter Meda. Dokter Meda telepon aku, dia bilang sangat
mendukung aku nikah sama Vicky. Tapi ternyata, dokter Meda itu Vicky sendiri.’
Lebih jauh lagi laporan dari sebuah
media mengungkap sedikit keterangan dari Lurah Desa Karang Asih, Cikarang
Utara, Bekasi, Jawa Barat yang merupakan tempat Vicky tinggal saat ini. Dari
penuturan Lurah tersebut, diketahui jika nama asli Vicky adalah Hendriyanto bin
Hermanto.3 Pun Vicky ternyata sudah menjadi
buronan sejak Januari 2013 terkait penipuan surat tanah, dan juga pernah kabur
ke Singapura karena kalah dalam pemilihan kepala desa di Bekasi.4
Saya sebenarnya tidak terlalu
tertarik dengan apa yang dia lakukan sampai menjadi buron selama
berbulan-bulan, dan dibekuk kemudian oleh pihak Kepolisian dengan tuduhan
pemalsuan sertifikat tanah. Tetapi bahasa ‘ngawur’ yang dipergunakan olehnya
membuat saya terus bertanya-tanya.
Sekarang mari kita coba interpretasi
bebas kalimat-kalimatnya:
- aku masih merindukan APRESIASI karena
basically aku suka musik = [aku masih ingin dipuja-puja (sebagai
artis?) karena pada dasarnya aku suka musik] atau mungkin [aku ingin
tampil terbuka] –ini mengingat pernyataan ini dibuat seusai pertunangan
yang dilakukan secara tertutup, tidak mengundang awak media.
- walaupun KONTROVERSI HATIk-ku lebih
menunjukkan KONSPIRASI KEMAKMURAN yang kita pilih = [walaupun
kegalauan hati ku lebih mengarah pada upaya mencipta kesejahteraan
(kebahagiaan?) secara terselubung demi kita berdua]
- kita belajar pada HARMONISISASI pada hal yang
terkecil sampai yang terbesar, ngga boleh ego terhadap satu kepentingan
& MENGKUDETA apa yang menjadi keinginan = [kita belajar
mengharmoniskan segala sesuatu, nggak boleh menang sendiri, dan menghilangkan
keinginan bersama]
- Ini bukan MEMPERTAKUT bukan MEMPERSURAM
STATUTISASI kemakmuran keluarga dia tetapi menjadi CONFIDENT = [ini
bukan bertujuan untuk menakut-nakuti atau membuat status kehormatan
keluarga dia lebih buruk, tetapi justru untuk membuat lebih percaya diri]
- Kita harus bisa MENSIASATI KECERDASAN itu
untuk LABIL EKONOMI kita lebih baik & aku sangat bangga = [Kita
harus bisa mengambil peluang dari situasi yang menekan (?) agar kondisi
ekonomi kita yang labil menjadi lebih baik dan aku sangat bangga]
Menurut saya, tidak ada yang salah
dengan bahasa Indonesia yang digunakannya. Kalimat-kalimatnya relatif
terstruktur dengan baik, dalam makna struktur Subyek, Predikat dan Obyek. Dalam
arti, bahasa yang dipergunakannya, tepat menempatkan subyek, tepat menempatkan
predikat, tepat menempatkan obyeknya. Sehingga ketika saya mencoba
menafsirkannya secara bebas, relatif tidak terlalu sulit kecuali penggunaan
istilah-istilahnya yang ‘awur-awuran’ atau ngawur. Sebuah penafsiran lain coba
dikemukakan oleh seorang blogger.5
1. Di usiaku saat ini ya
twenty nine my age.
seharusnya: Usiaku saat ini 29.
2. Tapi aku tetap masih
merindukan apresiasi, karena basicly aku seneng musik. Walaupun kontroversi
hati aku lebih ditujukan kepada konspirasi kemakmuran dari yang kita pilih.
Yang ini bener-bener bikin kita
garuk-garuk tapak kaki. Apa artinya ya? Apresiasi adalah penghargaan terhadap
sesuatu, kontroversi adalah pertentangan, dan konspirasi adalah suatu rencana
tersembunyi dibalik sesuatu. (definisi ini nggak lihat KBBI. Jadi mohon maaf
kalau saya salah mengartikannya). Tapi, mari kita coba sederhanakan
kata-katanya.
Mungkin begini ‘Aku menyukai
karyanya (Zaskia) karena pada dasarnya aku senang musik. Tapi aku juga punya
prioritas, yaitu karier’
Beugh! Jauh amat! Habis, untuk
mengetahui apa arti sebenarnya, sesungguhnya kita harus tahu apa sih yang
ditanyakan pada orang ini:
3. Kita belajar .. apa ya?
harmonisisasi dari hal yang terkecil sampai terbesar
Mungkin dia ditanyai hal ihwal
hubungan mereka. Tapi kesalahan Vicky adalah menyebut harmonisasi menjadi
harmonisisasi. Mungkin kalimat lebih sederhana yang bisa ia moncongkan adalah,
‘kita belajar untuk sama-sama mengerti satu sama lain, dari yang terkecil
sampai yang terbesar(?)’
4. Kita nggak boleh ego
terhadap satu kepentingan dan kudeta dari apa yang kita miliki.
Inilah ‘scene’ paling bikin kita
ngakak. Ketika dia menyeret kata ‘kudeta’. Sebagaimana kita tahu, kudeta berarti
perebutan kekuasaan secara paksa. Biasanya dipakai dalam ‘bahasa; politik dan
ketnegaraan. Jadi apa sih maksudnya Bung Vicky ini? Mungkin akan lebih
dimengerti jika dia berkata ‘Kita nggak boleh saling egois dan terlalu
mempertahankan apa yang kita miliki (kekayaan) (?)’
5. Dengan adanya hubungan
ini bukan mempertakut dan mempersuram stasusisasi kemakmuran keluarga dia. Tapi
menjadi confident.
Statusisasi? Wah, nggak semua kata
bisa direkatkan dengan -isasi, lho. Lalu gimana kata sederhananya? Ah, pikir
aja dalam hati:
6. Kita harus menyiasati
kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita akan lebih baik dan aku sangat bangga.
Labil ekonomi? Mungkin maksudnya
agar kehidupan perekonomian yang bersangkutan bisa seimbang. Di video lain,
Vicky bahkan menyebut kata enginering yang disangkutpautkannya dengan hobi
mendengarkan musik.
Penafsiran barusan relatif juga
tidak punya masalah dengan struktur bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh
Vicky, dan—lagi-lagi—hanya soal istilah-istilah yang dipakainya, yang—lagi-lagi—awur-awuran.
Lebih-lebih ketika Vicky menggunakan istilah-istilah itu dengan awalan ‘me-’,
‘memper-’ ataupun akhiran ‘-isasi’, hingga menciptakan istilah maupun frasa
yang hampir tak pernah ada dalam penggunaan bahasa Indonesia pada umumnya.
Seandainya ada penafsiran lain
dengan penggunaan bahasanya pun tak masalah. Kalaupun seorang penulis
Kompasiana, menyamakan Vicky dengan Tony Blank—pasien rumah sakit jiwa—yang
dianggap filsuf beraliran ‘saparatosan,’6 ya tidak juga mengundang satu gangguan
terhadap kehidupan kita.. Sehingga, kalaupun muncul pula anggapan bahwa Vicky
adalah salah satu praktisi posmoderen, setelah Tony Blank, saya pun tak
menganggapnya sebagai sebuah pencapaian dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, adanya tokoh Vicky atau Tony Blank tidak berarti juga ada
kenaikan Upah Minimum dan keamanan pekerjaan bagi kaum buruh, ataupun tidak
berarti juga satu bentuk perwujudan jiwa-jiwa yang bebas dari cengkeraman
roh-roh jahanam, yang menggelantung di leher bak sakit gondok—yang ternyata
menurut penelitian kesehatan adalah akibat tubuh manusia kurang mengkonsumsi
garam beryodium. Bagi saya, contoh bahasa Vicky adalah contoh penggunaan, dan
atau penerjemahan istilah yang ngawur, sesederhana itu saja.
Namun, apabila diperhatikan
baik-baik, bahasa yang dipergunakan Vicky sebenarnya seperti campuran antara
bahasa gaul—yang kerap disisipi dengan kata-kata ataupun ungkapan bahasa
Inggris—dan bahasa jurnalistik intelektual politik masa kini. Terutama pada
pilihan-pilihan kata-katanya yang sangat khas bahasa intelektual politik di
media massa. Coba perhatikan, ‘Apresiasi,’ ‘Kontroversi,’ ‘Konspirasi,’
‘Kemakmuran,’ ‘Harmonisasi,’ ‘Ego,’ ‘Kepentingan,’
‘Mengkudeta,’ ‘Confident,’ ‘Mensiasati,’ ‘Kecerdasan,’ ‘Labil,’
dan ‘Ekonomi.’ Kecuali kata ‘Statutisasi’ yang tidak terlalu jelas dari
mana asal usulnya, hampir semuanya adalah kata-kata serapan dari bahasa Inggris
yang biasa dipergunakan untuk kepentingan penulisan analisa berita-berita
politik. Akan tetapi persoalan kemudian muncul, ketika Vicky menggunakan semua
kata milik para ‘analis politik’ itu dalam konteks yang sangat personal,
sebagai sebuah pernyataan publik. Lebih-lebih, bahasa tubuhnya saat berucap
kalimat-kalimat di muka mengesankan adanya kepercayaan diri yang sungguh besar.
Sehingga ketika banyak orang mengetahui bahwa bahasanya adalah selubung dari
kegelisahannya sebagai pelaku tindak kriminal berbagai kasus penipuan, runtuhlah
semua citra di balik kata-kata tersebut.
Problemnya bukan pada apa makna di
balik kata-kata Vicky, melainkan pada bagaimana seorang penipu ulung semacam
Vicky bisa berpikir untuk mempergunakan kosa kata ‘politik’ sebagai sarana
untuk menyelubungi perilaku menipu pasangannya, keluarga pasangannya, maupun
pemirsa televisi? Apakah perbendaharaan kosa kata Vicky begitu banyak mengingat
salah satu modus penipuannya adalah menjadi dua atau tiga orang yang berbeda
identitas dalam satu waktu untuk merayu korban-korbannya?
Boleh jadi jawaban untuk pertanyaan
pertama adalah jawaban berdasar analisis sosio-politik, sementara untuk
pertanyaan yang kedua adalah jawaban berdasar analisis psikologi.
Tetapi sebelum analisis ini bergerak
menyelidiki, muncul beberapa fenomena baru yang saling berhubungan. Pertama,
pemberitaan yang cukup besar mengenai pembelaan Vicky. Mulai dari Vicky sendiri
sampai dengan pembelaan terhadap Vicky oleh keluarganya. Kedua, pemberitaan
tentang begitu populernya bahasa Vicky itu dipergunakan. Dan ketiga, perihal
media dan kaum intelektual yang mencoba mengambil pelajaran dari kasus Vicky.
Tentang Kritik dan Pembelaan
Jarak sehari setelah keramaian di
dunia virtual, sebuah blog yang beralamat http://vickyprasetyo.wordpress.com, yang diduga
blog milik Vicky Prasetyo mengajukan pembelaan terhadap segala macam kritik
yang dialamatkan kepadanya:
This is my ungkapan dengan sepenuh
keteguhan jiwa dan keabsahan kejujuran rasa, meminta dengan hormat pihak
manapun yang seteganya mendeskreditkan kebagusan reputasi diriku melalui alam
maya.
Aku sangat tidak mengharapkan
konspirasi berita sehingga nama baik ku disengajakan menjadi buruk citra.
Kosakatasime dan bahasaisasi komunikasi jangan dipermasalahkan lah
Kemajemukan masyarakat sepertinya
tiada lagi di negeri pancasilais tercinta ini. Sungguh memalukan
keintelektualitasan seorang aku menjadi ajang hiburan semata serta pemupusan
harapan dan materi of futures. But somehow my precious company was CV Angkasa
Mua at Karang Asih was become evidence of my glory.
I am can talking francis, jermany,
and other asian things.
Please share this is my good will
statement and verification for all them guys to know. Supaya seluruh masyarakat
Indonesia tahu lah, pembenaran sikap ku.
Basically disebabkan ucapan dan
statement ku dimuat di 9soul.com tanpa izin kontrak tertulis.
Afterall, this is my rightous, merupakan hak individualistik untuk berbicara,
berbahasa.
Kamis, 12 September 2013, adalah
hari pembelaan Vicky oleh anggota keluarganya, melalui suara Dabby Lestari,
adik perempuannya. Dabby menyatakan bahwa:7
Malahan Daby menilai kalau tata
bahasa eks tunangan Zaskia Gotik tersebut kurang baik karena kuliah di Amerika.
‘Mungkin karena pernah kuliah di Amerika, bahasa Inggrisnya enggak terlalu
bagus, enggak kayak di London. Ya mungkin gitu,’ kata Daby.
Daby juga mengaku kalau bahasa yang
diungkap Vicky itu berfilosofi tinggi. ‘Tapi itu bahasa filosof sebenarnya.
Kalau kita enggak nyampai ilmunya susah, sangkanya itu buat ejek-ejekan saja,’
bela Daby.
Pembelaan yang dikemukakan oleh
Vicky, lagi-lagi menuai banyak kritik dan ejekan dari para pembacanya.
Lebih-lebih ketika pembaca makin lama makin mengetahui asal-usul Vicky berikut
tindakan kriminalnya. Sehingga walaupun pembelaan itu ditulis dengan bahasa
yang sedikit lebih mudah dipahami, dan lebih tegas gagasannya, terutama pada
kalimat terakhir ‘hak individualistik untuk berbicara, berbahasa’, tetap saja
ia semakin diejek oleh khalayak pembaca blognya. Namun semua kritik yang
dialamatkan kepadanya, terutama pada blog di muka adalah kritik-kritik tentang
penggunaan tatabahasa Inggris dan tatabahasa Indonesia yang ngawur. Tidak ada
yang mencoba menelaah apa gagasan yang hendak diajukan ketika ia mengalami ‘bullying’
dari masyarakat dunia virtual.
Sementara pembelaan yang diajukan
oleh adik Vicky Prasetyo juga menjadi bahan ejekan yang selanjutnya. Sepertinya
apa yang dikemukakan oleh Dabby Lestari adalah sebuah penegasan bahwa Vicky
Prasetyo bukan berasal dari keluarga yang berpendidikan. Pastinya,
ungkapan-ungkapan Vicky adalah cermin dari pengetahuan yang tidak cukup dari
upaya memperbincangkan sesuatu secara serius dan ilmiah.
Mungkin ada benarnya jika pembelaan
itu ditempatkan pada kerangka yang lebih luas, pada kerangka pemikiran tentang
pembelaan sebagaimana yang diungkapkan oleh Socrates yang dituduh sebagai pemuja
setan, di dalam teks Apologia:
‘….Akulah seorang guru yang
meminta bayaran; tak ada yang lebih benar dari itu. Walaupun demikian, jika
seseorang mampu untuk mengajar, aku menghormatinya karena ia dibayar. Ada
Gorgias dari Leontium, dan Prodicus dari Ceos, ataupun Hippias dari Elis.
Mereka yang berkeliling dari kota ke kota, dan mampu mempengaruhi orang-orang
muda untuk meninggalkan warganya sendiri, demi mereka yang mungkin tidak
mengajarkan apa-apa, dan mereka mendatangi orang- orang muda itu, kepada siapa
orang-orang muda itu tidak hanya membayar, tetapi sungguh berterima kasih jika
diperbolehkan untuk membayar guru-guru itu.’8
Memang, saya yakin baik Vicky
Prasetyo, maupun adik Vicky Prasetyo tidak membaca, apalagi berpikir seperti
Socrates. Sama halnya dengan banyak intelektual di Indonesia, yang belum tentu
membaca dengan teliti, dan kalau pun membaca sebatas setengah membaca, atau
setengah mendengar apa yang disampaikan oleh teman dari temannya dosen yang
kebetulan nongkrong di kafe, dan tiba-tiba berbicara Socrates setelah gagal
menaklukkan hati seseorang, lalu berbicara tentang Socrates sebagai pembelaan
atas kegagalannya.
Tapi perhatikan lagi kalimat-kalimat
pembelaan Vicky:
This is my ungkapan dengan sepenuh
keteguhan jiwa dan keabsahan kejujuran rasa, meminta dengan hormat pihak
manapun yang seteganya mendeskreditkan kebagusan reputasi diriku melalui alam
maya.
Jika saya tafsirkan secara bebas
ungkapan Vicky di muka: ‘Inilah ungkapanku …… meminta dengan hormat pihak
manapun yang begitu tega mendiskreditkan …..’ berarti ‘Inilah aku yang
bersedia berhadapan dengan kalian yang begitu tega mendiskreditkan reputasi
diriku.’
Sekarang coba bandingkan dengan
kalimat pertama Socrates: ‘Akulah seorang guru yang meminta bayaran, tidak
ada yang lebih benar daripada itu’. Ini bisa berarti, ‘aku seorang yang
memiliki kemampuan mengajar, dan oleh karena kemampuanku aku meminta dibayar,
dan demikianlah adanya diriku.’
Apabila diperhatikan sekilas, baik
Socrates maupun Vicky sama-sama berani menyatakan diri berhadapan dengan,
katakanlah, ‘musuh-musuhnya’. Tetapi jika diperhatikan lebih cermat, ‘Aku’
menurut Vicky adalah bagian dari ‘keteguhan jiwa’ dan ‘keabsahan kejujuran
rasa’ dan ‘reputasi’. Entah apa pun itu pekerjaan Vicky kita tidak
menangkapnya. Sementara Socrates, secara langsung menegaskan ‘Akulah seorang
guru’. ‘Aku’ adalah ‘apa yang aku kerjakan’. Sama sekali Socrates tidak ada
soal dengan keteguhan jiwa dan kejujuran rasa, oleh karena ia berhadapan dengan
musuh-musuhnya sebagai seorang guru. Sementara Vicky berhadapan dengan
musuh-musuhnya sebagai yang tidak punya pekerjaan tapi punya reputasi baik. Apa
sebenarnya gagasan di balik ‘Tidak punya pekerjaan tetapi punya reputasi baik’?
Apakah mungkin itu berarti ‘tidak punya pekerjaan tetapi memiliki keteguhan
jiwa dan kejujuran rasa?’ Bukankah kalimat pernyataan seperti itu berarti
‘tampaknya nol (0) tetapi sesungguhnya satu (1)?’ Jikalau demikian, bukankah
itu berarti juga senada dengan kalimat ‘Muka boleh kaya setan, tetapi hati
tetap Rinto (Harahap)?9‘ Atau jika dibawa ke dalam konteks
politik, dalam bahasa para aktivis seperti misalnya, ‘Kita sih memang kecil,
tetapi besar pengaruhnya?’ Apakah itu sama juga dengan pernyataan seorang
pengacara, dan aktivis politik generasi tua, ‘Abang sih ngga ada
masalah, tapi yang di belakang abang itu ribut mulu?’ Ataukah itu
sejenis dengan pernyataan tokoh kriminal John Kei ketika diinterogasi pihak
kepolisian tentang mengapa dirinya membunuh polisi, ‘Saya tidak punya masalah
dengan polisi, tetapi saya kebetulan punya teman yang punya masalah dengan
polisi’? Apakah itu senada juga dengan ‘penghiburan’ yang diberikan oleh
Hariman Siregar kepada aktivis PRD, seperti ‘PRD itu memang kecil tetapi ngasih
contohnya itu lho…’ Apa sebenarnya logika dibalik ‘tampaknya nol (0) tetapi
sesungguhnya (1)?’ Bukankah teks Proklamasi yang disusun di bawah ancaman
militer Jepang, disusun dengan kalimat, ‘Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya’, atau posisi politik di dalam pembukaan UUD 45,
‘Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa’, atau pernyataan Semaun di hadapan
pengadilan Hindia Belanda, untuk menjawab pertanyaan tentang identitasnya,
‘Pekerjaan saya merencanakan revolusi?’
Boleh jadi pengamat politik yang
harus menyatakan dan atau mendefinisikan siapa Vicky, dan pengamat politik juga
yang bisa menilai dengan baik apa gagasan-gagasan politik kita secara obyektif,
sementara kita sendiri seperti tak memiliki ruang untuk menyatakan apa
pekerjaan kita dan apa gagasan politik kita. Dalam kasus Vicky, adiknyalah yang
memberikan pembelaan secara obyektif, lepas dari benar atau salah, lepas dari
soal apakah Dabby Lestari itu dungu luar biasa, ataupun kampungan, norak,
sehingga pantas masuk neraka jahanam.***